Dokumen SP2DK: Klarifikasi Awal atas Data Pajak Wajib Pajak
Dokumen SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) adalah surat klarifikasi yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada wajib pajak. Dokumen ini bukan merupakan surat pemeriksaan, melainkan langkah awal dalam proses pengawasan dan penggalian potensi perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Banyak wajib pajak yang masih bingung membedakan antara dokumen SP2DK dan pemeriksaan pajak. Meski keduanya berasal dari DJP, dokumen SP2DK berfungsi sebagai klarifikasi atas ketidaksesuaian data dalam SPT Masa atau Tahunan, seperti selisih penjualan, pembelian, atau penghasilan bruto. Petunjuk teknis terkait dokumen SP2DK diatur dalam SE-05/PJ/2022.
SP2DK
Merupakan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak sebagai fungsi pengawasan wajib pajak dan langkah awal untuk memverifikasi data atas ketidaksesuaian dalam SPT Masa/Tahunan dengan data internal yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. Umumnya SP2DK meminta penjelasan data dan/atau keterangan kepada wajib pajak untuk penggalian potensi perpajakan. Petunjuk teknis atas SP2DK ini diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE – 05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak. Misalnya:
- Selisih penjualan antara SPT PPN vs SPT Tahunan;
- Selisih pembelian antara SPT PPN vs SPT Tahunan;
- Selisih jumlah penghasilan bruto SPT Masa PPh 21 vs SPT Tahunan;
- Bukti potong dari lawan transaksi;
- Faktur pajak dari lawan transaksi;
- dan lain-lain.
Apakah SP2DK ini wajib ditanggapi?
Secara normatif, Dokumen SP2DK diatur dalam Surat Edaran (SE) maka tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran bukan merupakan suatu hierarki peraturan, sehingga Surat Edaran ini hanya mengikat dalam internal instansi yang mengeluarkan surat tersebut dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak. Lain halnya dengan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka wajib pajak berkewajiban memberikan data yang diminta oleh pemeriksa berdasarkan kewenangan yang “termaktub” dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP.
Namun demikian, wajib pajak yang mengabaikan SP2DK maka harus bersiap untuk menghadapi pemeriksaan yang diusulkan oleh Account Representative (AR) bahkan bukti permulaan. Oleh karena itu, wajib pajak yang mempunyai keyakinan bahwa Surat Edaran DJP bukan merupakan ketentuan yang mengikat maka sah-sah saja karena merupakan opini pribadi yang berlandaskan dengan hukum positif di Indonesia. Lebih lanjut SP2DK juga tidak dapat memaksa wajib pajak untuk memberikan data yang diminta berdasarkan surat yang dikirim sehingga penjelasan lisan atau tulisan seharusnya cukup menjawab klarifikasi yang terdapat dalam SP2DK.
Jika melihat pengertian SP2DK adalah Surat Permintaan Penjelasan Atas Data dan Keterangan maka hal ini dapat dimaknai bahwa pihak kantor pajak “HANYA MEMINTA PENJELASAN” atas data dan bukan merupakan SURAT PERMINTAAN DATA, oleh sebab itu Account Representative (AR) seharusnya tidak perlu “memaksa dan menakut-nakuti” wajib pajak untuk mengusulkan dilakukan pemeriksaan atau bukti permulaan apabila tidak memberikan data yang diminta berdasarkan SP2DK, karena tidak ada landasan hukum yang mengatur serta pemberian data kepada AR seharusnya dapat dimaknai sebagai Voluntary bukan Mandatory.
Perlu diingat bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang mempunyai makna bahwa segala sesuatu tindakan pemerintah dan warga negara harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip dasar ini harus dipahami oleh seluruh wajib pajak dan pihak Account Representative (AR), sehingga dalam menjalankan ketentuan Undang-Undang Perpajakan tidak bertabrakan dengan peraturan secara hierarki perundang-undangan.
Namun demikian, wajib pajak dapat memilih memberikan data kepada Account Representative (AR) atau tidak memberikan data karena seperti yang telah kami sebutkan diatas Surat Edaran (SE) bukan merupakan produk hukum yang mengikat. Apabila wajib pajak akan memberikan jawaban dan penjelasan atas SP2DK yang dikirim harus memperhatikan batas jangka waktu yang telah diberikan biasanya 14 (empat belas) hari. Karena apabila wajib pajak tidak memberikan klarifikasi atau balasan SP2DK maka, mempunyai konsekuensi diusulkan oleh Account Representative (AR) ke tahap pemeriksaan pajak bahkan bukti permulaan. Jangka 14 (empat belas) hari tersebut dapat dimintakan perpanjangan dengan melakukan komunikasi dengan AR secara lisan atau tulisan.
Penutup
SP2DK merupakan suatu fungsi pengawasan kepatuhan wajib pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka hendaknya hal ini tidak dijadikan sebagai basis alat dan upaya dalam penerimaan negara yang sedang turun, melainkan mengembalikan fungsi dan “ruh” sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 45/PMK.01/2021.